Tafsir dan Hadis Mudharabah

Oleh : M. Fadhli Dzil Ikram,. S.Sy


MUDHARABAH DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN
DAN HADIS
1.      Prespektif Al-Qur’an
a.       Surat Al-Muzammil ayat 20
وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ
Artinya : Dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT. (QS. Al-Muzammil : 20)
Ayat diatas menjelaskan tantang perjalanan manusia di muka bumi untuk mencari sebagian karunia Allah SWT yang di ambil dari kata dasar yadhribun. Perluasan makna yadhribun merupakan implikasi dari keterkaitan mudharabah secara bahasa.
b.      Asbabun Nuzul Surat Al- Muzammil
Dalam periwayatan, dikatakan sekelompok kaum Quraisy yang berkumpul di gedung Darun Nadwah bertujuan untuk menjuluki Nabi Muhammad dengan gila, dukun dan tukang sihir. Lalu berita ini sampai kepada nabi kemudian beliau berselimut dan berkerudung sehingga datanglah malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad “Ya Ayuhal Muzzamil” dan “Ya Ayuhal Mudattsir”. Namun dalam asbabun nuzul tidak ada keterkaitan dari konsep mudharabah.
c.       Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqarah 189
فَإِذَاقُضِيَتِ الصَّـلَوةُ فَا نتَشِرُواْفِى الأَرْضِ وَابْتَغُواْ مِن فَضْلِ اللهِ
Artinya :Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT (Q.S. al-Jumu’ah :10)
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُواْ فَضْلاًمِّن رَّ بِّكُمْ
Artinya :Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu.
(Q.S. al-Baqarah :198)
Kedua ayat diatas merupakan anjuran kepada seluruh manusia untuk mencari karunia Tuhan, yang kemudian analogikan pada sang mudharib untuk mencari karunia Allah SWT yang secara umum melegitimasi Mudharabah sebagai kegiatan mencari karunia Allah SWT di muka bumi.
2.      Prespektif Al-Hadist
a.       Hadis Riwayat Ibnu Thabrani
رَوَى ابْنُ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّهُ قَالَ :كَانَ سَيَّدُنَا الْعَبَّــاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطُلِبِ إِذَا دَفَعَ الْمَال مضاربة اشترط على صاحب لا يسلُك به بحــرا ولا ينزل به واد يا  ولا يشترى به دابة ذات كبدرطبة فإنْ فعل ذلك ضمن فبلغ شر طه رصل الله عليه وسلم فأ جا زه
Artinya : Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia menyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertangung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw dan Rasulullah pun membolehkanya (HR Thabrani).
Dari hadis di atas dapat ditarik konsepsi sebagai berikut : 1. Adanya akad mudharabah 2. Mitra usaha antara pemodal (sahibul maal) dengan pengelola (mudharib) 3. Terdapat syarat yang mengikat 4. Pertangung jawaban pengelola. Adanya 4 point dalam konsep mudharabah dalam kandungan hadis Thabrani memang belum secara keseluruhan membahas konsepsi, ada beberapa hal mendasar yang tidak disebutkan dalam kandungan hadis tersebut misalnya, tidak adanya sekema pembagian hasil dan rugi antara sohibul maal dengan mudharib kemudian tidak disebutkan pula tanggung jawab dari sahibul maal.
b.      Hadis Riwayat Ibnu Thabrani
عَنْ صَا لِحِ بْنِ صُهَيْبِ عَنْ أَبِيهِ قَلَ قَلَ رَسُو لُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلا ثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَ كَةُ الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَ الْمُقَارِضَةُ وَأَخْلاَطُ البُرَّ بِالشَّـــعِيرِ لِلبَيْتِ لا لِلْبَيْعِ
Artinya : Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah dan mencampur gandung dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.
Korelasi pada hadis ini secara konsepsi berada pada konteks keberkahaan, konsep keberkahaan ini dapat dianalogikan sebagai konsep antaradin yaitu sama-sama ridho. Jika keduanya sama-sama ridho maka keberkahan akan ada didalamnya, tidak ada unsur keterpaksaan dalam akad mudharabah.
c.       Status Kedua Hadis di Atas
Pengkajian hadis tersebut harus ditelaah lebih dalam, bagaimana status hadisnya. Jika hadisnya sahih maka dapat dijadikan sebagai suatu sandaran hukum, tetapi jika hadisnya dhoif  maka tidak bisa diamalkan secara mutlak dalam hukum. Menurut Ibnu Hazm, kedua hadis tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan dan lemah untuk dijadikan sebagai sandaran hukum. Hadis Riwayat Thabrani sebagai sandaran hukum yang pertama, dinilai sebagai hadis yang lemah karena di dalam  rangkaian sanadnya ada rawi yang bernama Abu al-Jarud al-A’ma yang tidak diterima oleh pakar hadis (hadis matruk). Hadis kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari shuhaib ra, di nilai sebagai hadis dhoif (Subul as-Salam, 3/76)

3.      Kaidah Fikih
اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ

Artinya : Hukum asal menetapkan syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil (yang melarangnya)
Bedasarkan landasan hukum di atas bahwa mudharabah di syariatkan oleh Allah SWT kepada umat manusia untuk mencari ridho Allah di muka bumi sebagaimana kaidah fikih yang mengatakan bahwa semua yang dilakukan manusia untuk menjalin interaksi sosial maupun ekonomi tidak memiliki batasan-batasan kecuali ada dalil yang melarangnya. Secara sifat dan konsepsi mudharabah tidak memiliki unsur-unsur yang dilarang seperti maisir, gharar dan riba.
KONSEP DASAR MUDHARABAH
Mudharabah secara literal dipahami sebagai proses pencarian karunia Allah dimuka bumi untuk mencari ridho Allah dengan cara bermuamalah. Beberapa pakar ekonomi syariah mengkaitkan mudharabah dengan surat al-Muzzamil ayat 20 sebagai keterkaitan makna dharab dengan mudharabah. Dharab diperluas pengertianya secara maknawi yaitu melakukan suatu perjalanan usaha, secara konsepsi mudharabah tidak dijelaskan secara implisit di dalam al-Qur’an. Hadis-hadis mudharabah yang seringkali di hubungkan secara konsepsi adalah hadis dari Ibnu Abas (HR. Thabrani) dan Sahlih bin Suhaib (HR. Ibnu Majah). Kedua hadis tersebut menurut Ibnu Hazm tidak dapat dipertanggung jawabkan dan lemah untuk di jadikan suatu hukum. Merujuk pada kaidah fiqih yang mengatakan bahwa setiap bentuk kegiatan muamalah dapat dilakukan tanpa adanya batasan kecuali ada dalil yang melarangnya. Hal ini dapat mengqiyaskan mudharabah sebagai bagian dari pada bentuk kegiatan-kegiatan muamalah, sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunah.
Mudharabah di artikan sebagai suatu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih, yang salah satunya merupakan pemilik modal dan lainya sebagai pengelola. Prinsip mudharabah di bangun atas rasa tolong menolong antara sesama manusia dimuka bumi untuk mendapatkan ridho Allah. Prinsip kerjasama antara kedua belah pihak atau lebih merupakan proses tolong menolong antara pemilik modal (sohibul maal) dengan pengelola (mudharib) keduanya saling memberikan manfaat. Kegiatan yang di landasi dengan prinsip tolong menolong (taawun) dan saling ridha (antaradin) di antara keduanya akan memberikan keadilan baik dari segi bagi hasil dan kerugian. Ekonomi Islam memandang pembagian keuntungan dan kerugian di sepakati dan di pertangung jawabkan secara bersama, tidak ada dikotomi antara keduanya. Maka kejujuran dalam melakukan prinsip mudharabah merupakan peran yang vital untuk menjalankan akad ini dengan baik dan benar bertujuan untuk mencari keuntungan.
TRANSFORMASI MUDHARABAH DARI MASA
KLASIK MENUJU KOTEMPORER

1.      Mudharabah Pada Masa Klasik
Prinsip mudharabah merupakan sesuatu yang telah ada pada masa Jahiliyah yang kemudian ditetapkan oleh Islam. Mudharabah atau Qiradh telah di legitimasi oleh para ulama fiqh bahwa tidak ada perselisihan secara sifat, artinya konsep mudharabah dapat di gunakan untuk segala jenis kegiatan muamalah. Para ulama sepakat tentang konsepsi mudharabah yaitu seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk di perdagangkan dengan imbalan yang disepakati bersama dari hasil keuntungan harta tersebut. Pekerja atau mudharib tidak dibebankan atau di beri tanggung jawab atas pemberian modal yang habis apabila ia tidak melakukan suatu yang di sengaja, hal ini menimbulkan perselisihan pendapat di antara ulama fiqh. Ada beberapa prinsip yang terdapat perselisihan seperti pada segi objeknya, masalah syarat dan hukum-hukum Mudharabah.
a.       Objek yang di perselisihkan
Menurut mayoritas ulama mengatakan bahwa apabila modal yang berbentuk benda tidak diperkenankan untuk di niagakan, kerana berunsur penipuan dalam mengambil benda yang sama dengan nilai sesuatu dan mengembalikanya dalam keadaan sama dengan nilai sesuatu yang lain sehingga modal dan keuntungan menjadi tidak jelas. Begitupun akad mudharabah pada barang perhiasan dan juga orang yang masih mempunyai piutang, tidak boleh baginya memberikan modal kepadanya sebelum ia melunasi piutang tersebut, Artinya modal harus tunai karena barang tidak dapat di pastikan taksiran harganya dan mengakibatkan ketidakpastian. Sedangkan menurut Ibnu Abu Laila bahwa barang yang menjadi modal dapat di perkanankan, hal ini bedasarkan penjualan barang yang di jadikan modal lalu kemudian mendapatkan untung maka keuntungan tersebut dapat di bagi dua. Mereka berdua menjadikan pokok hartanya adalah harga yang digunakan untuk membeli barang.
b.      Mengenai Masalah Syarat
Secara global syarat yang tidak boleh menurut seluruh ulama adalah sesuatu yang mengakibatkan adanya risiko atau ketidak jelasan tambahan. Persyaratan pada akad mudharabah yang di sepakati secara bersama di dalam perjanjian adalah sah (boleh), problema muncul apabila pekerja mensyaratkan keuntungan secara keseluruhan untuk dirinya. Menurut Imam Malik, hal tersebut dapat di benarkan karena ada kebaikan dari pemilik modal, pemilik modal dapat mengambil sebagian kecil dari harta yang banyak sedangkan menurut Imam Syafi’I hal tersebut adalah penipuan karena pemilik modal bertangung jawab atas kerugian yang di alami dan tidak berhak atas keuntungan yang di dapatkan dari kerjasama mudharabah. Pemberian tempo atau jangka waktu pada akad mudharabah menurut mayoritas ulama tidak diperkenankan  karena menyusahkan pekerja dan memasukan tambahan risiko, Sedangkan  menurut Abu Hanifah memperkenankan hal tersebut terkecuali apabila mereka membatalkan akad tersebut.
c.       Mengenai hukum-hukum Mudharabah
Hukum-hukum yang mengikat pada mudharabah merupakan hukum yang dapat di perkenankan tetapi hukum dapat menjadi rusak karena sesuatu. Hal ini menimbulkan beberapa perselisihan pendapat pada ahli waris ketika menggunakan akad mudharabah. Imam Malik berpendapat bahwa akad mudharabah merupakan akad yang dapat di wariskan sedangkan menurut Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa setiap dari mereka dapat membatalkan dan hal ini bukanlah akad yang dapat di wariskan. Perbedaan pendapat lainya terjadi pada konteks apabila dalam akad mudharabah mengalami kerugian dan memiliki keuntungan yang lalu kemudian menggunakan harta yang tersisa untuk mengadakan akad mudharabah yang baru. Imam Malik dan mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak diperkenankan menggunakan akad mudharabah yang baru sebelum ia memisahkan modal yang lalu sedangkan menurut Ibnu Habib pengikut Imam Malik mengatakan bahwa hal tersebut adalah bagian dari pada akad Mudharabah yang lalu dan mengharuskanya untuk dilaksanakan. Ulama telah sepakat bahwa pekerja atau mudharib tidak boleh keuntungan tanpa di sertai oleh kehadiran pemilik modal atau sohibul maal.
d.      Rukun Mudharabah
Mengenai penentuan rukun yang harus di penuhi dalam akad mudharabah ulama berbeda pendapat, Ulama Malikiyah mengatakan bahwa rukun mudharabah terdiri atas ra’sul (modal), al-amal (bentuk usaha), keuntungan, aqiddain (pihak yang berakad). Adapun menurut Ulama Hanafiyah ijab dan qabul dengan lafal yang menunjukan makna ijab dan qabul tersebut. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah rukun mudharabah ada enam :
1)      Pemilik dana (sohibul maal)
2)      Pengelola (mudharib)
3)      Ijab Qabul (sighat)
4)      Ra’sul Maal (modal)
5)      Pekerjaan (amal)
6)      Keuntungan atau Nisbah
e.       Syarat Mudharabah menurut Fikih
Syarat-syarat khusus yang harus di penuhi dalam mudharabah terdiri dari syarat modal dan keuntungan. Syarat modal, yaitu :
1)      Modal harus berupa uang
2)      Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya
3)      Modal harus tunai bukan hutang
4)      Modal harus di serahkan kepada mitra.
Sedangkan keuntungan yang di peroleh bersama harus di sepakati oleh kedua belah pihak begitu pula pada kerugian.
2.      Mudharabah Pada Masa Kotemporer
Seiring dengan berkembangnya dunia ke ilmuan dan teknologi yang di awali dengan revolusi industri di Inggris peradaban manusia semakin kompleks dan bertransformasi menjadi lebih mudah untuk di akses (teknologi). Hal tersebut memberikan dampak langsung pada akad-akad klasik dalam muamalah, salah satunya adalah akad mudharabah. Perkembangan masyarakat yang dinamis menjadikan akad ini berubah dalam tataran profit oriented khususnya dalam lembaga keuangan syari’ah. Perubahan secara masif terjadi pada bentuk-bentuk sebagai berikut :
a.       Akad Pararel
Akad merupakan  bentuk yang harus di penuhi oleh orang-orang yang mengikat suatu perjanjian dalam jual beli. Perkembangan akad yang terjadi dalam mudharabah terdapat dalam segi kuantitas yang melakukan akad dan skema pemberian modal pada pengelola. Jika pada masa klasik akad hanya di penuhi oleh dua orang yang berakad untuk melakukan suatu kerja sama antara pemilik modal dan pengelola, maka pada masa kotemporer akad dimodifikasi menjadi tiga orang yang berakad. Satu menjadi pengelola (nasabah), satu menjadi (mediator) dan lainya sebagai orang yang memberikan dana (dana pihak ketiga).
b.      Pembagian Nisabah Bagi Hasil
Pembagian nisbah bagi hasil menurut ulama klasik sepakat bahwa pembagian di sepakati oleh pemilik modal dan pengelola tetapi apabila merugi pengelola tidak dibebankan tangung jawab atas kerugian yang terjadi selama kerugian tersebut tidak dilakukan dengan kesengajaan. Dalam kacamata kotemporer pembagian nisbah bagi hasil dilakukan secara sepihak oleh lembaga keuangan syari’ah dan kerugian di tangung oleh pengelola baik sengaja maupun tidak di sengaja.
c.       Tempo yang di berikan
Tempo atau jangka waktu pada masa kotemporer merupakan mitigasi risiko yang harus di terapkan guna menjaga kesehatan lembaga keuangan syari’ah dari kepailitan. Tempo sifatnya tidak mutlak tetapi tempo dapat di sesuaikan oleh kesepakatan apabila nasabah melakukan konfirmasi atas ketidak mampuan untuk membayar tetapi dalam pandangan mayoritas ulama klasik bahwa pemberian tempo tidak di perkenankan karena persyaratan ini termasuk kategori menyusahkan orang yang berdagang (pengelola).
d.      Jaminan
Jaminan merupakan persyaratan utama dalam melakukan suatu akad di dalam lembaga keuangan, termasuk dalam akad mudharabah lembaga mediasi mensyaratkan untuk meminta jaminan kepada pengelola yang besaranya sesuai dengan modal yang diberikan. Jika di tinjau pada konteks akad mudharabah pada masa klasik konsepsi jaminan tidak menyertai akad karena akad tersebut murni karena dasar tolong-menolong (ta’awun) sehingga pemilik modal mempercayai pengelola untuk melakukan suatu usaha.
Persyaratan Minimum Akad Mudharabah pada Masa Kotemporer
NO
Kategori
Persyaratan
1

Persyaratan dalam Akad
1.1
Syarat
Menggunakan Judul/kata “Mudharabah
1.2
Syarat
Menyebutkan hari dan tanggal akad dilakukan
1.3
Syarat
Menyebutkan pihak yang bertransaksi atau yang mewakilinya
1.4
Syarat
Menetapkan bank atau sahibul maal dan nasabah sebagai pengelola atau mudharib
1.5
Rukun
Menentukan nisbah bagi hasil bagi masing-masing pihak
1.6
Syarat
Menetapkan usaha yang akan dilakukan nasabah
1.7
Syarat
Menyebutkan akan di tanggung oleh bank apabila tidak disebabkan pelanggaran akad dan bertindak melebihi kapasitas
1.8
Kesepakatan
Menetapkan sanksi bagi nasabah apabila lalai membayar bagi hasil pada waktunya.
1.9
Kesepakatan
Menetapkan kesepakatan apabila terjadi force majeur
1.10
Kesepakatan
Menetapkan jaminan dari pihak ketiga apabila diperlukan
1.11
Kesepakatan
Menetapkan saksi-saksi apabila diperlukan
1.12
Kesepakatan
Menetapkan badan arbitrase Syariah sebagai tempat penyelesaian apabila terjadi sengketa
2

Persyaratan Transfer Dana
2.1
Syarat Turunan
Dilakukan bank dengan mengkredit kepada rekening nasabah
2.2
Syarat Turunan
Tanda terima oleh nasabah adalah tanda terima uang


Persyaratan Perhitungan Keuntungan
3
Kesepakatan
Menggunakan real transactionary cost atau real cost yang di tetapkan alco masing-masing





Sumber :
1.      AAOIFI, Acounting and Auditing Standard for Islamic Financial Institution 2002
2.      Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa DSN 2003
Next
This is the current newest page
Previous
This is the oldest page

1 komentar:

Click here for komentar
uctrydsaari
admin
3 Maret 2022 pukul 15.00 ×

Casinos near Bally's Casino in Bally's, WA | Mapyro
Best Casinos Near Bally's Casino 파주 출장샵 in Bally's, WA · 1. Bally's Hotel & Casino, Casino & Spa, Bally's 천안 출장안마 WA 보령 출장마사지 · 2. Bally's Bally's Hotel & Casino, Casino & Spa 나주 출장안마 · 3. Bally's Hotel & 진주 출장마사지

Congrats bro uctrydsaari you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar
Thanks for your comment