MUDHARABAH DALAM PRESPEKTIF AL-QUR’AN
DAN
HADIS
1.
Prespektif
Al-Qur’an
a.
Surat
Al-Muzammil ayat 20
وَءَاخَرُونَ
يَضْرِبُونَ فِى الأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ
Artinya
: Dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah
SWT. (QS. Al-Muzammil : 20)
Ayat diatas menjelaskan tantang perjalanan manusia di muka bumi
untuk mencari sebagian karunia Allah SWT yang di ambil dari kata dasar yadhribun.
Perluasan makna yadhribun merupakan implikasi dari keterkaitan mudharabah
secara bahasa.
b.
Asbabun Nuzul
Surat Al- Muzammil
Dalam periwayatan, dikatakan sekelompok kaum Quraisy yang berkumpul
di gedung Darun Nadwah bertujuan untuk menjuluki Nabi Muhammad dengan gila,
dukun dan tukang sihir. Lalu berita ini sampai kepada nabi kemudian beliau
berselimut dan berkerudung sehingga datanglah malaikat Jibril menyampaikan
wahyu kepada Nabi Muhammad “Ya Ayuhal Muzzamil” dan “Ya Ayuhal
Mudattsir”. Namun dalam asbabun nuzul tidak ada keterkaitan dari konsep
mudharabah.
c.
Surat
al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqarah 189
فَإِذَاقُضِيَتِ الصَّـلَوةُ فَا نتَشِرُواْفِى الأَرْضِ وَابْتَغُواْ
مِن فَضْلِ اللهِ
Artinya
:Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan
carilah karunia Allah SWT (Q.S. al-Jumu’ah :10)
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُواْ فَضْلاًمِّن رَّ بِّكُمْ
Artinya :Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia
Tuhanmu.
(Q.S. al-Baqarah :198)
Kedua ayat diatas merupakan anjuran kepada seluruh manusia untuk
mencari karunia Tuhan, yang kemudian analogikan pada sang mudharib untuk
mencari karunia Allah SWT yang secara umum melegitimasi Mudharabah
sebagai kegiatan mencari karunia Allah SWT di muka bumi.
2.
Prespektif
Al-Hadist
a.
Hadis Riwayat
Ibnu Thabrani
رَوَى ابْنُ عَبَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّهُ قَالَ :كَانَ
سَيَّدُنَا الْعَبَّــاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطُلِبِ إِذَا دَفَعَ الْمَال مضاربة
اشترط على صاحب لا يسلُك به بحــرا ولا ينزل به واد يا ولا
يشترى به دابة ذات كبدرطبة فإنْ فعل ذلك ضمن فبلغ شر طه
رصل الله عليه وسلم فأ جا زه
Artinya : Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke
mitra usahanya secara mudharabah ia menyaratkan agar dananya tidak dibawa
mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak. Jika
menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertangung jawab atas dana
tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw dan
Rasulullah pun membolehkanya (HR Thabrani).
Dari hadis di
atas dapat ditarik konsepsi sebagai berikut : 1. Adanya akad mudharabah
2. Mitra usaha antara pemodal (sahibul maal) dengan pengelola (mudharib)
3. Terdapat syarat yang mengikat 4. Pertangung jawaban pengelola. Adanya 4
point dalam konsep mudharabah dalam kandungan hadis Thabrani memang belum
secara keseluruhan membahas konsepsi, ada beberapa hal mendasar yang tidak
disebutkan dalam kandungan hadis tersebut misalnya, tidak adanya sekema
pembagian hasil dan rugi antara sohibul maal dengan mudharib
kemudian tidak disebutkan pula tanggung jawab dari sahibul maal.
b.
Hadis Riwayat
Ibnu Thabrani
عَنْ صَا لِحِ بْنِ صُهَيْبِ عَنْ أَبِيهِ قَلَ قَلَ رَسُو لُ اللهِ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلا ثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَ كَةُ الْبَيْعُ إِلَى
أَجَلٍ وَ الْمُقَارِضَةُ وَأَخْلاَطُ البُرَّ بِالشَّـــعِيرِ لِلبَيْتِ لا
لِلْبَيْعِ
Artinya : Dari
Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda “Tiga hal yang di dalamnya
terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah dan mencampur
gandung dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.
Korelasi pada hadis ini secara konsepsi berada pada konteks
keberkahaan, konsep keberkahaan ini dapat dianalogikan sebagai konsep antaradin
yaitu sama-sama ridho. Jika keduanya sama-sama ridho maka keberkahan akan ada
didalamnya, tidak ada unsur keterpaksaan dalam akad mudharabah.
c.
Status Kedua
Hadis di Atas
Pengkajian hadis tersebut harus ditelaah lebih dalam, bagaimana
status hadisnya. Jika hadisnya sahih maka dapat dijadikan sebagai suatu
sandaran hukum, tetapi jika hadisnya dhoif maka tidak bisa diamalkan secara mutlak dalam
hukum. Menurut Ibnu Hazm, kedua hadis tersebut tidak dapat dipertanggung
jawabkan dan lemah untuk dijadikan sebagai sandaran hukum. Hadis Riwayat
Thabrani sebagai sandaran hukum yang pertama, dinilai sebagai hadis yang lemah
karena di dalam rangkaian sanadnya ada
rawi yang bernama Abu al-Jarud al-A’ma yang tidak diterima oleh pakar hadis
(hadis matruk). Hadis kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari shuhaib ra,
di nilai sebagai hadis dhoif (Subul as-Salam, 3/76)
3.
Kaidah Fikih
اْلأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ
الْحِلُّ وَالْإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
Artinya : Hukum asal menetapkan
syarat dalam mu’âmalah adalah halal dan diperbolehkan kecuali ada dalil (yang
melarangnya)
Bedasarkan landasan hukum di atas bahwa mudharabah di
syariatkan oleh Allah SWT kepada umat manusia untuk mencari ridho Allah di muka
bumi sebagaimana kaidah fikih yang mengatakan bahwa semua yang dilakukan
manusia untuk menjalin interaksi sosial maupun ekonomi tidak memiliki
batasan-batasan kecuali ada dalil yang melarangnya. Secara sifat dan konsepsi mudharabah
tidak memiliki unsur-unsur yang dilarang seperti maisir, gharar
dan riba.
KONSEP DASAR MUDHARABAH
Mudharabah secara literal dipahami sebagai proses pencarian karunia Allah
dimuka bumi untuk mencari ridho Allah dengan cara bermuamalah. Beberapa pakar
ekonomi syariah mengkaitkan mudharabah dengan surat al-Muzzamil ayat 20
sebagai keterkaitan makna dharab dengan mudharabah. Dharab
diperluas pengertianya secara maknawi yaitu melakukan suatu perjalanan usaha,
secara konsepsi mudharabah tidak dijelaskan secara implisit di dalam al-Qur’an.
Hadis-hadis mudharabah yang seringkali di hubungkan secara konsepsi
adalah hadis dari Ibnu Abas (HR. Thabrani) dan Sahlih bin Suhaib (HR. Ibnu
Majah). Kedua hadis tersebut menurut Ibnu Hazm tidak dapat dipertanggung
jawabkan dan lemah untuk di jadikan suatu hukum. Merujuk pada kaidah fiqih yang
mengatakan bahwa setiap bentuk kegiatan muamalah dapat dilakukan tanpa adanya
batasan kecuali ada dalil yang melarangnya. Hal ini dapat mengqiyaskan mudharabah
sebagai bagian dari pada bentuk kegiatan-kegiatan muamalah, sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an dan Sunah.
Mudharabah di artikan
sebagai suatu bentuk kerja sama antara dua orang atau lebih, yang salah satunya
merupakan pemilik modal dan lainya sebagai pengelola. Prinsip mudharabah
di bangun atas rasa tolong menolong antara sesama manusia dimuka bumi untuk
mendapatkan ridho Allah. Prinsip kerjasama antara kedua belah pihak atau lebih
merupakan proses tolong menolong antara pemilik modal (sohibul maal)
dengan pengelola (mudharib) keduanya saling memberikan manfaat. Kegiatan
yang di landasi dengan prinsip tolong menolong (taawun) dan saling ridha
(antaradin) di antara keduanya akan memberikan keadilan baik dari segi
bagi hasil dan kerugian. Ekonomi Islam memandang pembagian keuntungan dan
kerugian di sepakati dan di pertangung jawabkan secara bersama, tidak ada dikotomi
antara keduanya. Maka kejujuran dalam melakukan prinsip mudharabah merupakan
peran yang vital untuk menjalankan akad ini dengan baik dan benar bertujuan
untuk mencari keuntungan.
TRANSFORMASI
MUDHARABAH DARI MASA
KLASIK
MENUJU KOTEMPORER
1.
Mudharabah Pada Masa Klasik
Prinsip mudharabah merupakan
sesuatu yang telah ada pada masa Jahiliyah yang kemudian ditetapkan oleh Islam.
Mudharabah atau Qiradh telah di legitimasi oleh para ulama fiqh
bahwa tidak ada perselisihan secara sifat, artinya konsep mudharabah
dapat di gunakan untuk segala jenis kegiatan muamalah. Para ulama sepakat
tentang konsepsi mudharabah yaitu seseorang memberikan hartanya kepada
orang lain untuk di perdagangkan dengan imbalan yang disepakati bersama dari
hasil keuntungan harta tersebut. Pekerja atau mudharib tidak dibebankan
atau di beri tanggung jawab atas pemberian modal yang habis apabila ia tidak
melakukan suatu yang di sengaja, hal ini menimbulkan perselisihan pendapat di
antara ulama fiqh. Ada beberapa prinsip yang terdapat perselisihan seperti pada
segi objeknya, masalah syarat dan hukum-hukum Mudharabah.
a.
Objek yang di
perselisihkan
Menurut mayoritas ulama mengatakan
bahwa apabila modal yang berbentuk benda tidak diperkenankan untuk di niagakan,
kerana berunsur penipuan dalam mengambil benda yang sama dengan nilai sesuatu
dan mengembalikanya dalam keadaan sama dengan nilai sesuatu yang lain sehingga
modal dan keuntungan menjadi tidak jelas. Begitupun akad mudharabah pada
barang perhiasan dan juga orang yang masih mempunyai piutang, tidak boleh
baginya memberikan modal kepadanya sebelum ia melunasi piutang tersebut,
Artinya modal harus tunai karena barang tidak dapat di pastikan taksiran
harganya dan mengakibatkan ketidakpastian. Sedangkan menurut Ibnu Abu Laila bahwa
barang yang menjadi modal dapat di perkanankan, hal ini bedasarkan penjualan
barang yang di jadikan modal lalu kemudian mendapatkan untung maka keuntungan
tersebut dapat di bagi dua. Mereka berdua menjadikan pokok hartanya adalah
harga yang digunakan untuk membeli barang.
b.
Mengenai
Masalah Syarat
Secara
global syarat yang tidak boleh menurut seluruh ulama adalah sesuatu yang
mengakibatkan adanya risiko atau ketidak jelasan tambahan. Persyaratan pada
akad mudharabah yang di sepakati secara bersama di dalam perjanjian
adalah sah (boleh), problema muncul apabila pekerja mensyaratkan keuntungan
secara keseluruhan untuk dirinya. Menurut Imam Malik, hal tersebut dapat di
benarkan karena ada kebaikan dari pemilik modal, pemilik modal dapat mengambil
sebagian kecil dari harta yang banyak sedangkan menurut Imam Syafi’I hal
tersebut adalah penipuan karena pemilik modal bertangung jawab atas kerugian
yang di alami dan tidak berhak atas keuntungan yang di dapatkan dari kerjasama
mudharabah. Pemberian tempo atau jangka waktu pada akad mudharabah menurut
mayoritas ulama tidak diperkenankan
karena menyusahkan pekerja dan memasukan tambahan risiko, Sedangkan menurut Abu Hanifah memperkenankan hal
tersebut terkecuali apabila mereka membatalkan akad tersebut.
c.
Mengenai
hukum-hukum Mudharabah
Hukum-hukum yang mengikat pada mudharabah
merupakan hukum yang dapat di perkenankan tetapi hukum dapat menjadi rusak
karena sesuatu. Hal ini menimbulkan beberapa perselisihan pendapat pada ahli
waris ketika menggunakan akad mudharabah. Imam Malik berpendapat bahwa
akad mudharabah merupakan akad yang dapat di wariskan sedangkan menurut
Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa setiap dari mereka dapat
membatalkan dan hal ini bukanlah akad yang dapat di wariskan. Perbedaan
pendapat lainya terjadi pada konteks apabila dalam akad mudharabah
mengalami kerugian dan memiliki keuntungan yang lalu kemudian menggunakan harta
yang tersisa untuk mengadakan akad mudharabah yang baru. Imam Malik dan
mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak diperkenankan menggunakan akad mudharabah
yang baru sebelum ia memisahkan modal yang lalu sedangkan menurut Ibnu Habib
pengikut Imam Malik mengatakan bahwa hal tersebut adalah bagian dari pada akad Mudharabah
yang lalu dan mengharuskanya untuk dilaksanakan. Ulama telah sepakat bahwa
pekerja atau mudharib tidak boleh keuntungan tanpa di sertai oleh
kehadiran pemilik modal atau sohibul maal.
d.
Rukun Mudharabah
Mengenai penentuan rukun yang harus
di penuhi dalam akad mudharabah ulama berbeda pendapat, Ulama Malikiyah
mengatakan bahwa rukun mudharabah terdiri atas ra’sul (modal), al-amal
(bentuk usaha), keuntungan, aqiddain (pihak yang berakad). Adapun
menurut Ulama Hanafiyah ijab dan qabul dengan lafal yang menunjukan makna ijab
dan qabul tersebut. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah rukun mudharabah ada
enam :
1)
Pemilik dana
(sohibul maal)
2)
Pengelola
(mudharib)
3)
Ijab Qabul
(sighat)
4)
Ra’sul Maal
(modal)
5)
Pekerjaan
(amal)
6)
Keuntungan atau
Nisbah
e.
Syarat Mudharabah menurut Fikih
Syarat-syarat
khusus yang harus di penuhi dalam mudharabah terdiri dari syarat modal
dan keuntungan. Syarat modal, yaitu :
1)
Modal harus berupa uang
2)
Modal harus jelas dan diketahui jumlahnya
3)
Modal harus tunai bukan hutang
4)
Modal harus di serahkan kepada mitra.
Sedangkan keuntungan
yang di peroleh bersama harus di sepakati oleh kedua belah pihak begitu pula
pada kerugian.
2.
Mudharabah Pada Masa Kotemporer
Seiring dengan berkembangnya dunia
ke ilmuan dan teknologi yang di awali dengan revolusi industri di Inggris
peradaban manusia semakin kompleks dan bertransformasi menjadi lebih mudah
untuk di akses (teknologi). Hal tersebut memberikan dampak langsung pada
akad-akad klasik dalam muamalah, salah satunya adalah akad mudharabah.
Perkembangan masyarakat yang dinamis menjadikan akad ini berubah dalam tataran profit
oriented khususnya dalam lembaga keuangan syari’ah. Perubahan secara masif
terjadi pada bentuk-bentuk sebagai berikut :
a.
Akad Pararel
Akad merupakan bentuk yang harus di penuhi oleh orang-orang
yang mengikat suatu perjanjian dalam jual beli. Perkembangan akad yang terjadi
dalam mudharabah terdapat dalam segi kuantitas yang melakukan akad dan skema
pemberian modal pada pengelola. Jika pada masa klasik akad hanya di penuhi oleh
dua orang yang berakad untuk melakukan suatu kerja sama antara pemilik modal
dan pengelola, maka pada masa kotemporer akad dimodifikasi menjadi tiga orang
yang berakad. Satu menjadi pengelola (nasabah), satu menjadi (mediator) dan
lainya sebagai orang yang memberikan dana (dana pihak ketiga).
b.
Pembagian
Nisabah Bagi Hasil
Pembagian nisbah bagi hasil menurut
ulama klasik sepakat bahwa pembagian di sepakati oleh pemilik modal dan
pengelola tetapi apabila merugi pengelola tidak dibebankan tangung jawab atas
kerugian yang terjadi selama kerugian tersebut tidak dilakukan dengan
kesengajaan. Dalam kacamata kotemporer pembagian nisbah bagi hasil dilakukan
secara sepihak oleh lembaga keuangan syari’ah dan kerugian di tangung oleh pengelola
baik sengaja maupun tidak di sengaja.
c.
Tempo yang di
berikan
Tempo atau jangka waktu pada masa kotemporer merupakan mitigasi
risiko yang harus di terapkan guna menjaga kesehatan lembaga keuangan syari’ah
dari kepailitan. Tempo sifatnya tidak mutlak tetapi tempo dapat di sesuaikan
oleh kesepakatan apabila nasabah melakukan konfirmasi atas ketidak mampuan
untuk membayar tetapi dalam pandangan mayoritas ulama klasik bahwa pemberian
tempo tidak di perkenankan karena persyaratan ini termasuk kategori menyusahkan
orang yang berdagang (pengelola).
d.
Jaminan
Jaminan
merupakan persyaratan utama dalam melakukan suatu akad di dalam lembaga
keuangan, termasuk dalam akad mudharabah lembaga mediasi mensyaratkan
untuk meminta jaminan kepada pengelola yang besaranya sesuai dengan modal yang
diberikan. Jika di tinjau pada konteks akad mudharabah pada masa klasik
konsepsi jaminan tidak menyertai akad karena akad tersebut murni karena dasar
tolong-menolong (ta’awun) sehingga pemilik modal mempercayai pengelola
untuk melakukan suatu usaha.
Persyaratan
Minimum Akad Mudharabah pada Masa Kotemporer
NO
|
Kategori
|
Persyaratan
|
||
1
|
Persyaratan dalam Akad
|
|||
1.1
|
Syarat
|
Menggunakan Judul/kata “Mudharabah”
|
||
1.2
|
Syarat
|
Menyebutkan hari dan tanggal akad dilakukan
|
||
1.3
|
Syarat
|
Menyebutkan pihak yang bertransaksi atau yang mewakilinya
|
||
1.4
|
Syarat
|
Menetapkan bank atau sahibul maal dan nasabah sebagai
pengelola atau mudharib
|
||
1.5
|
Rukun
|
Menentukan nisbah bagi hasil bagi masing-masing pihak
|
||
1.6
|
Syarat
|
Menetapkan usaha yang akan dilakukan nasabah
|
||
1.7
|
Syarat
|
Menyebutkan akan di tanggung oleh bank apabila tidak disebabkan
pelanggaran akad dan bertindak melebihi kapasitas
|
||
1.8
|
Kesepakatan
|
Menetapkan sanksi bagi
nasabah apabila lalai membayar bagi hasil pada waktunya.
|
||
1.9
|
Kesepakatan
|
Menetapkan kesepakatan
apabila terjadi force majeur
|
||
1.10
|
Kesepakatan
|
Menetapkan jaminan
dari pihak ketiga apabila diperlukan
|
||
1.11
|
Kesepakatan
|
Menetapkan saksi-saksi
apabila diperlukan
|
||
1.12
|
Kesepakatan
|
Menetapkan badan arbitrase Syariah sebagai tempat penyelesaian
apabila terjadi sengketa
|
||
2
|
Persyaratan Transfer Dana
|
|||
2.1
|
Syarat Turunan
|
Dilakukan bank dengan
mengkredit kepada rekening nasabah
|
||
2.2
|
Syarat Turunan
|
Tanda terima oleh
nasabah adalah tanda terima uang
|
||
Persyaratan Perhitungan Keuntungan
|
||||
3
|
Kesepakatan
|
Menggunakan real
transactionary cost atau real cost yang di tetapkan alco
masing-masing
|
||
Sumber :
1. AAOIFI, Acounting and Auditing Standard for
Islamic Financial Institution 2002
2. Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa DSN
2003
1 komentar:
Click here for komentarCasinos near Bally's Casino in Bally's, WA | Mapyro
Best Casinos Near Bally's Casino 파주 출장샵 in Bally's, WA · 1. Bally's Hotel & Casino, Casino & Spa, Bally's 천안 출장안마 WA 보령 출장마사지 · 2. Bally's Bally's Hotel & Casino, Casino & Spa 나주 출장안마 · 3. Bally's Hotel & 진주 출장마사지
ConversionConversion EmoticonEmoticon